perlengkapan dapur

Minggu, 13 Maret 2016

Mengenal Sosok Buyut Mas Saleh Manggisan

Buyut Mas Saleh
Nama dan kebesaran seorang aulia Mas Saleh di wilayah Manggisan, Kelurahan Lateng Banyuwangi mungkin hanya dikenal segelintir masyarakat di Banyuwangi.  Sedangkan untuk generasi muda nama
ini tentunya masih belum familiar. Tidak banyak diketahui bahwa Aulia Mas Saleh adalah seorang cendekiawan muslim yang disegani di zamannya. Berbagai gagasan yang pernah dilahirkan dalam bentuk kitab-kitab pengetahuan keagamaan, pengobatan dan pengetahuan ketuhanan lainnya.
 Sangatlah disayangkan semua kitab-kitab itu terbakar pada tahun 1970 an, seiring dengan terbakarnya sanggar tempat berlatihnya para pemuda di dekat areal pemakamannya yang didirikan oleh salah satu keturunannya. Tidaklah berlebihan jika seorang Mas Saleh dengan kepandaiannya mampu mencetak murid-muridnya, hingga beberapa diantaranya menjadi ulama terkemuka di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur.

Sebut saja Kyai H Hasyim Ashari, Kyai H. Samsul Arifin Situbondo, Kyai H. Hamid Pasuruan, Kyai H. Kholil Bangkalan, Kyai H. Abdullah Faqih Cemara Banyuwangi, Kyai H. Zakaria Pamekasan, Kyai H Irsyad Banyuwangi, dan yang paling muda adalah Kyai H. Harun Banyuwangi yang merupakan penutur cerita ketika mereka adalah ulama-ulama yang dahulu pernah menimba ilmu dari Buyut Mas, sebutan yang banyak dikenal masyarakat sekitar.

Mas Saleh dahulu bertempat tinggal di Kasepuhan yaitu wilayah di belakang Masjid Baitur Rahman sekarang atau dikenal juga Kauman, kemudian bergeser ke Temenggungan sebuah desa tepat berada di belakang pendopo kabupaten. Diperkirakan pada masa pemerintahan Bupati RT. Pringgokusumo sampai dengan RT Astro Kusumo, bersama dengan saudara lainnya yang dikenal dengan nama Buyut Mas Mister dan Buyut Mas Saelan, pernah menjadi penasehat bupati pada saat itu.

Sehingga, dahulu di pagar pendopo bagian belakang terdapat pintu menuju ke tempat tinggal dari ketiganya, dan jalan tersebut tidak boleh dilewati sembarang orang. Saat  ini jalan tersebut sudah ditutup kembali. Setelah Pemerintahan Belanda tidak menempatkan bupati dari keturunan Tawang Alun, maka Buyut Mas Saleh bergeser tempat tinggal ke arah utara yaitu di areal kebunnya sendiri sampai meninggal tahun 1918, dan dimakamkan di tempat itu juga bersama dengan Buyut Mas Mister dan Buyut Mas Saelan serta keturunannya. Tempat pemakaman itu dikenal dengan keramat Manggisan.


Komleks Makam Buyut Saleh
 Cerita tentang kesaktiannya yang berkembang di kalangan keluarga dan keturunannya serta masyarakat kalangan tua, banyak diceritakan dari generasi ke generasi. Dan itu menjadi kisah yang bisa dijadikan tauladan untuk generasi penerusnya.  Seperti cerita tentang suguhan minuman kopi untuk para tetamunya yang hanya dibuat dengan teko kecil yang hanya cukup diminum satu kali. Namun teryata teko itu tetap masih terisi penuh dan selalu dalam kondisi panas, walaupun terus dituangkan untuk para tetamunya yang datang silih berganti.

 Demikian juga cerita tutur tentang kejadian salah satu puteranya yang pertama bernama Panoto. Ketika dikebun banya pohon pepaya yang sudah berbuah, tiba-tiba tercerabut dari akarnya. Ternyata ketika ditanya kepada penjaga kebun, dikebun banyak pohon pepaya, dan pohon lainnya yang bertumbangan tercerabut dari akarnya. Ketika ditanyakan kepada penjaga kebun, semua itu karena ulah Panoto yang sedang menguji ilmu kanuragannya dengan mencabuti pohon yang ada, padahal pohon itu sudah berbuah.

Melihat kejadian itu,  Mas Saleh tidak bersikap murka atau marah, akan tetapi dipanggilnya sang putera itu ke halaman rumahnya. Lalu ditancapkan sebatang lidi dengan cara dilempar begitu saja, sehingga posisi lidi itu berdiri di atas tanah. Kemudian sang puteranya disuruh mencabut lidi itu. Dan sungguh ajaib dengan segala kekuatan yang dimilikinya lidi itu tidak dapat dicabutnya. Setelah dilihatnya sang puteranya menyerah, dipanggillah salah seorang anak kecil yang lewat untuk mencabut lidi itu.

Maka dengan mudahnya lidi itu tercabut oleh anak kecil itu,”Punya ilmu belum seberapa itu jangan digunakan untuk sembarangan yang akhirnya merugikan orang lain,”katanya menasehati sang putera. “Buah-buahan yang engkau cabut itu, masih dapat dirasakan orang lain.”imbuhnya sambil meninggalkan halaman rumahnya. Dan sang puteranya hanya bisa terduduk lesu, menyadari kesalahannya.

Di masa hidupnya, perkembangan bahasa tulis belum semarak seperti sekarang ini. Kemampuan masyarakayt untuk menulis masih sangat terbatas, dan pada saat itu yang berkembang hanya huruf-huruf bahasa Arab. Hanya kalangan terbatas saja yang bisa memahaminya. Sehingga untuk pembelajaran pada pesanggrahan-pesanggrahan banyak menggunakan bahasa simbol sebagai pengganti keterbatasan bahasa  tulis ini.

Dengan metode simbol atau lambang ini akan membawa kesan dan mudah diingat. Jadi cukup memberikan simbol-simbol tertentu dan sederhana, namun bisa memberikan makna mendalam. Misalnya “sepertilah tanaman padi dalam hidup ini”, simbol tanaman padi  memiliki makna yakni semakin berisi semakin merunduk, yang artinya sebagai manusia tidak boleh sombong.

 Mas Saleh memberikan pelajaran-pelajaran yang mudah diingat anak cucu nya. Pertama, dikatakannya kalau meninggalnya menunggu leher putus. Kedua orang sakti yang terakhir hanyalah dirinya setelah itu sudah tidak  ada lagi, dan yang ketiga disebutkan kalau buku-bukunya sudah ditanam di bawah pohon pecari di sekitar pesanggrahannya. Dan masih banyak lagi simbol-simbol yang  ditinggalkannya sebagai pesan kepada siapa saja yang mau memperhatikannya.

Makna meninggalnya menunggu lehernya putus, ternyata ketika putera kedua meninggal, tidak lama kemudian Mas Salehpun meninggal dunia. Sehingga pemakamannya secara bersamaan. Pemaknaan lehernya putus adalah penggulu atau yang kedua yaitu puteranya yang meninggal dunia.

Pemahaman yang kedua, yaitu orang sakti yang terakhir berarti adanya perubahan jaman, karena saat itu di Banyuwangi berdiri Serekat Islam. Sebuah embrio dari metode pergerakan yang menggunakan sarana politik untuk mewujudkan tujuannya. Sedangkan makna kitab-kitabnya ditanam di bawah pohon pecari adalah apa yang telah ditinggalkan harus dicari digali sendiri agar dapat dipahami akan makna dan pengertiannya. Karena memang tidak ada pengganti yang sengaja ditunjuk.

Kitab-kitab itu pada dasarnya adalah apa yang ditinggalkannya seperti, areal yang ditempati berada di jalan Merieman sekarang jalan Karimun jawa. Dengan tata letak tanah, bangunan dan tanaman antara lain, tanah sebelah barat digunakan untuk rumah tinggal dengan konstruksi panggung atau berlantai dua tanpa sekat dilengkapi musholla di depannya dengan hiasan kolam air, sedangkan lahan sebelah timur murni digunakan untuk kebun.

Untuk tata tanamnya di belakang rumahnya ditanam durian berjejer, sebelah kanan bunga pecari, sebelah kiri buah kepel dan di depan bangunan terdapat tanaman buah susu. Sedangkan untuk kebunnya ditanami pohon manggis yang cukup banyak, sehingga masyarakat menamakan areal itu adalah dukuh manggisan.

Menurut cerita dari keturunannya yang pada saat tahun awal kemerdekaan kalau mau pindah ke pohon manggis ketika akan memetik buahnya sudah tidak perlu harus turun lagi, karena begitu lebatnya pohon manggis itu sehingga saling berdempetan.

Secara garis besarnya peninggalan simbol-simbol itu yang merupakan kitab untuk  dibaca antara lain, rumah panggung  atau berlantai dua artinya manggung atau merenung dan berfikir. Jalan merieman dan posisi rumah di sebelah barat mengandung makna, situasi saat itu yang harus berhadapan dengan dunia barat (Belanda) dengan segala kekuatan militernya.

Oleh karena itu, setiap orang harus memperhatikan kolam air di depan rumah dengan musholanya artinya air kehidupan atau air suci yaitu jalan ekonomi untuk kepentingan kehidupannya dengan berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan. Sedangkan perilaku yang buruk dilambangkan menempatkan durian dibelakang, karena biasanya perilaku buruk itu menimbulkan kesenangan seperti buah durian yang enak dan harum akan tetapi berduri tajam.

Perilaku yang buruk yang dilambangkan sebelah kiri dalam wujud pohon kepel. Menurut bahasa jawa, kepel ini adalah posisi tangan menggenggam. Yang harus di cari (pohon bunga pecari) yaitu jalan kanan sehingga dapat merengguk susu kehidupan (buah susu didepan rumah). Areal kebun dengan buah manggisnya merupakan perwujudan dari areal kehidupan hubungan sosial kemasyarakatan yang dilambangkan buah manggis yang berwarna merah putih yang bermakna hubungan kemasyrakatan itu,  selalu akan ada sisi baik dan buruk, susah dan senang, kaya dan miskin artinya dalam kehidupan itu sisi positif dan negatif adalah adalah hal lumrah yang memang ada.

Dalam kancah kehidupan setiap orang haruslah seperti manggis yang jujur akan memberi lambang akan isinya, atau suatu sikap kejujuran tidak ada yang disembunyikan dalam bergaul di masyarakat.
Itulah beberapa makna dari kitab yang terpendam di bawah pohon pecari sebagai bahasa perlambang untuk dibaca bagi keturunan-keturunannya maupun orang lain yang mau memperhatikan akan hal itu. Selain itu, masih ada peninggalan yang hari ini masih digunakan oleh masyarakat sekitar yaitu sebuah masjid yang berlokasi di Sukowidi, yaitu sebelah utara dari lokasi tempat tinggal dan kebunnya. Padahal di rumahnya juga ada mushola kecil, akan tetapi masih mendirikan mushola walaupun tempatnya agak jauh.

Hal ini dikandung maksud untuk masyarakat yang sudah mulai mengenal agama Islam dan memerlukan pedalaman-pendalaman awal maka disediakan tempat di masjid itu. Juga untuk orang-orang yang belajar pemahaman nilai-nilai Ketuhanan lebih dalam banyak menggunakan tempat tinggalnya yang berbentuk panggung itu tanpa sekat-sekat ruangan, yang melambangkan bahwa siapa saja yang memasuki rumah tinggalnya bukan dianggap orang lain, akan tetapi dianggap saudaranya sendiri tanpa dibeda-bedakan.

Sumber : Gema Tawangalun edisi 15, 2016 dengan perubahan